Sabtu, 06 Juli 2013

artikel minang


MENGAPA TIDAK ADA ‘KAMPUNG MINANG’? : Catatan tambahan untuk artikel Mathias Pandoe
Published By niadilova under Kajian Umum    
Menarik membaca artikel Mathias Pandoe, “Minangkabau Boulevart” (sic) yang dimuatPadang Ekspres (Jumat, 24 Oktober 2008). Artikel itu mendiskusikan mengapa perantau Minangkabau di banyak daerah di luar Sumatera Barat, termasuk luar negeri, tidak hidup dalam sebuah enclave seperti beberapa etnis lainnya?
Kalau di banyak kota ditemukan Kampung Cina, Kampung Keling, Kampung Nias, Kampung Bali, Kampung Bugis, dan Kampung Ambon, misalnya, mengapa tidak ada Kampung Minang? Mathias menjelaskan bahwa hal itu disebabkan “orang Minang merantau tidak mengelompok di satu kawasan, tapi menyebar dengan jarak agak jauh satu sama lain”. Tetapi mengapa sifat seperti itu muncul pada orang Minang?
Yang menarik sebenarnya penjelasan historis penulis mengenai hal ini yang, sayangnya, hanya disinggung sedikit saja dalam artikel itu. Tulisan ini ingin menokok-tambah sedikit penjelasan historis Mathias yang sepintas lalu itu. Analisis dan interpretasi saya didasarkan atas refleksi terhadap sumber-sumber pertama sejarah yang telah saya baca.
Seperti dikatakan dalam artikel Mathias Pandoe, Kampung Ambon, Kampung Cina, dan banyak kampung yang lain itu sudah terbentuk di kota-kota pantai di Nusantara jauh pada zaman lampau. Ada indikasi bahwa beberapa kampung seperti itu sudah muncul sebelum orang Eropa datang ke Nusantara. Tapi kebanyakan kampung seperti itu terbentuk setelah Orang Eropa, khususnya Belanda, mulai bercokol di Nusantara.
Konsolidasi penjajahan Belanda di Kepulauan Nusantara melalui serikat dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sejak awal abad ke-17 telah ikut mempengaruhi struktur demografi kependudukan wilayah kepulauan ini. Banyak kelompok etnis melakukan penghijarahan dari daerah asalnya ke daerah lain, khususnya ke kota-kota pelabuhan. Migrasi itu ada yang dilakukan karena terpaksa (biasanya hal ini terkait dengan tugas militer dan perbudakan) dan ada yang dilakukan secara sukarela (biasanya karena motif ekonomi).
Orang-orang yang melakukan penghijrahan itulah yang membuat kampung-kampung sendiri di tempat mereka yang baru. Dapat dibayangkan bahwa pada waktu itu (abad ke 16-awal abad ke-20) masing-masing etnis yang berpindah tempat itu, atau dengan paksa dipindahkan, sangat merasa asing di daerah mereka yang baru tempat mereka tinggal. Mereka umumnya tidak bisa berbahasa Melayu, oleh karenanya tidak bisa berkomunikasi dengan kelompok dari suku lain yang juga berimigrasi ke tempat yang sama. Hal ini berlaku juga bagi ras-ras asing yang datang ke Nusantara, seperti orang India (Keling), Arab, dan Cina. Salah satu cara, dan ini semacam naluri makhluk hidup pada umumnya, adalah tinggal berkelompok di wilayah yang sama di tempat yang baru itu.
Cukup dapat dipastikan bahwa awal terbentuknya kampung-kampung beberapa kelompok etnis dari Indonesia timur di kota-kota Jawa (seperti Batavia dan Surabaya)seperti Kampung Bali, Kampung Ambon, dan Kampung Bugisdisebabkan oleh pendatangan dan pengiriman budak-budak dari daerah itu ke Jawa. Paling tidak ada tiga tipe budak dari wilayah itu:
1) yang diperdagangkan;
2) yang dibawa paksa oleh Belanda ke Batavia sebagai tenaga kerja;
3) yang dihadiahkan sebagai ‘kado’ oleh raja-raja lokal setempat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Masyarakat etnis yang hidup di Indonesia Timur umumnya mengenal kasta sosial paling rendah, yaitu budak. Mereka boleh diperdagangkan dan dihadiahkan. Bila raja-raja mereka mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Raad van India-nya di Batavia, maka setiap surat yang dikirim diiringi dengan ‘buah tangan’ berupa ternak, hasil bumi setempat, dan budak (biasanya disebut abdi, lasykar, bingkisan, dan kiriman).
Simak kutipan kalimat penutup Surat Sultan Bima ke-9, Abdul Hamid Muhamad Syah (1773-1817), kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda berikut ini (garis bawah oleh Suryadi): “Satupun tiada alamat al-hayat hanyalah pada siang dan malam serta keadaanenam orang abdi laki2 yang tiada sepertinya. Maka yang seperti kuda itu telah sediakan oleh Paduka Raja Bima, mau dikirimkan kepada Tuan Gurnadur Jenderal dengan segala Rat van [I]ndia yang sebagaimana yang telah sudah dibiasakan kepada tahun2 dahulu2.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.2).
Dan di bawah ini kutipan dari kalimat penutup surat Raja Buton ke-26, Muhyiuddin Abdul Gafur (1791-1799): “Apalah kiranya tanda alamat al-hayat pada akhir al-satarnya hanyadua lapan orang bingkisan kepada Kompeni dan dua orang kiriman kepada Tuan Heer Gurnadur Jenderal, demikianlah adanya.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.44).
Banyak sekali budak ‘buah tangan’ itu yang diterima (petinggi) Kompeni Belanda. Bayangkan saja: setiap surat dibarengi dengan hadiah beberapa orang budak (ada yang sampai 28 orang). Sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 ada ribuan surat seperti itu yang dikirim oleh raja-raja lokal di Nusantara kepada Gubernur Jenderal Hindua Belanda di Batavia. Bayangkan jumlah budak yang menyertainya.
Minggu lalu saya membaca surat-surat Raja Bali (Buleleng dan Karangasem) yang tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden. Rupanya raja-raja Bali juga royal mengirimkan hadiah budak kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
F. de Haan dalam buku laborious-nya, Oud Batavia (1935) mencatat bahwa beberapa nama kampung di Batavia pada awalnya dibangun dan dihuni oleh budak-budak yang dimerdekakan. Misalnya, kawasan Maggarai di Jakarta sekarang dulunya dibangun oleh budak-budak yang berasal dari daerah Manggarai, Flores Barat. Demikian pula halnya Kampung Bali yang dulunya dibangun oleh budak-budak yang dibawa dari Pulau Bali.
Kasta budak tidak ada dalam struktur sosial kelompok-kelompok etnis yang hidup di Indonesia barat. Kalaupun ada kelas rendah, itu biasanya didasarkan atas kategori kepemilikan harta. Etnis Minangkabau apalagi: jangankan jadi budak, diperintah saja mereka sulit. Bukankah mereka cenderung memilih jadi pedagang K5 yang menjual beberapa pasang kaus kaki ketimbang jadi tukang becak?
Raja-raja atau penghulu Minang dulu kalau mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia menyertai emas sebagai buah tangan, bukan budak. Simak kutipan kalimat penutup surat Panglima Raja di Hilir, Penghulu Kepala kota Padang di bawah ini (garis bawah oleh Suryadi): “Syahdan maka adalah dipesertakan dengan burhan al-wujud sezarah ini tuhfah haluan daripada yang diperhamba Panglima serta penghulu2 yang dua belas serta istiadat yang dibiasakan keadaannya lima belas tahilmas kepala, serta kami minta selamat sekalian jenis kebajikan dan kesentosaan Tuan Gurnadur Jenderal dan sekalian Tuan Raden van India” (Naskah Leiden Or.2241-IIb 1; 13 Maret 1792).
Danhe he, tanda si Padang pelit (cimpilik kariang?)Panglima Raja di Hilir seringkali hanya bilang “dengan hati putih” saja, tanpa dibarengi ‘kado’ lagi, seperti dapat dikesan dalam kutipan suratnya di bawah ini (garis bawah oleh Suryadi): “Sekarang suatupun belumapa2 persembahan daripada kami melainkan hanya hati putih selamat dengan segala jenis kebajikan Tuan Gurnadur Jenderal dan segala Tuan orang besar [Raad] van India serta sekalian umur panjang jua adanya.”(Naskah Leiden Or.2241-IIb 4; 28 Maret 1794).
Umumnya penghijrahan orang Minang dilakukan secara spontansatu ciri merantau orang Minang yang khas (Naim 1979). Satu keuntungan lagi: orang Minang rata-rata bisa berbahasa Melayu, yang di zaman lampau disebut sebagai “bicaro gaduang“. Oleh sebab itu para perantau Minang tidak sulit berkomunikasi dengan kelompok-kelompok etnis yang sudah lebih dulu bermastautin di bandar-bandar Nusantara yang memang sudah menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam komunikasi antaraetnis. Sifat independen nagari-nagari di Minangkabau juga ikut mempengaruhi kohesi sosial antara sesama orang Minang di rantau.
Faktor-faktor di atassifat-sifat internal kebudayaan Minangkabau sendiri dan juga faktor kebahasaantidak saja mempengaruhi jenis pekerjaan yang disukai orang Minang di rantau, tetapi juga mempengaruhi cara mereka hidup dengan sesamanya dan dengan orang-orang dari kelompok etnis lain.
Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesi, Universiteit Leiden, Belanda
Dimuat di Padang Ekspres 28 Oktober 2008 (Teras Utama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kritik dan saran yang membengun sangat dibutuhkan,
dilarang menggunakan kata-kata kasar.