MENGAPA TIDAK ADA ‘KAMPUNG MINANG’? : Catatan tambahan
untuk artikel Mathias Pandoe
Menarik membaca artikel Mathias Pandoe,
“Minangkabau Boulevart” (sic) yang dimuatPadang Ekspres (Jumat, 24 Oktober 2008). Artikel itu mendiskusikan
mengapa perantau Minangkabau di banyak daerah di luar Sumatera Barat, termasuk
luar negeri, tidak hidup dalam sebuah enclave seperti beberapa etnis lainnya?
Kalau di banyak kota ditemukan Kampung
Cina, Kampung Keling, Kampung Nias, Kampung Bali, Kampung Bugis, dan Kampung
Ambon, misalnya, mengapa tidak ada Kampung Minang? Mathias menjelaskan bahwa
hal itu disebabkan “orang Minang merantau tidak mengelompok di satu kawasan,
tapi menyebar dengan jarak agak jauh satu sama lain”. Tetapi mengapa sifat
seperti itu muncul pada orang Minang?
Yang menarik sebenarnya penjelasan
historis penulis mengenai hal ini yang, sayangnya, hanya disinggung sedikit
saja dalam artikel itu. Tulisan ini ingin menokok-tambah sedikit penjelasan
historis Mathias yang sepintas lalu itu. Analisis dan interpretasi saya
didasarkan atas refleksi terhadap sumber-sumber pertama sejarah yang telah saya
baca.
Seperti dikatakan dalam artikel Mathias
Pandoe, Kampung Ambon, Kampung Cina, dan banyak kampung yang lain itu sudah
terbentuk di kota-kota pantai di Nusantara jauh pada zaman lampau. Ada indikasi
bahwa beberapa kampung seperti itu sudah muncul sebelum orang Eropa datang ke
Nusantara. Tapi kebanyakan kampung seperti itu terbentuk setelah Orang Eropa, khususnya
Belanda, mulai bercokol di Nusantara.
Konsolidasi penjajahan Belanda di
Kepulauan Nusantara melalui serikat dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sejak awal abad ke-17 telah ikut mempengaruhi
struktur demografi kependudukan wilayah kepulauan ini. Banyak kelompok etnis
melakukan penghijarahan dari daerah asalnya ke daerah lain, khususnya ke
kota-kota pelabuhan. Migrasi itu ada yang dilakukan karena terpaksa (biasanya
hal ini terkait dengan tugas militer dan perbudakan) dan ada yang dilakukan
secara sukarela (biasanya karena motif ekonomi).
Orang-orang yang melakukan penghijrahan
itulah yang membuat kampung-kampung sendiri di tempat mereka yang baru. Dapat
dibayangkan bahwa pada waktu itu (abad ke 16-awal abad ke-20) masing-masing
etnis yang berpindah tempat itu, atau dengan paksa dipindahkan, sangat merasa
asing di daerah mereka yang baru tempat mereka tinggal. Mereka umumnya tidak
bisa berbahasa Melayu, oleh karenanya tidak bisa berkomunikasi dengan kelompok
dari suku lain yang juga berimigrasi ke tempat yang sama. Hal ini berlaku juga
bagi ras-ras asing yang datang ke Nusantara, seperti orang India (Keling),
Arab, dan Cina. Salah satu cara, dan ini semacam naluri makhluk hidup pada
umumnya, adalah tinggal berkelompok di wilayah yang sama di tempat yang baru
itu.
Cukup dapat dipastikan bahwa awal
terbentuknya kampung-kampung beberapa kelompok etnis dari Indonesia timur di
kota-kota Jawa (seperti Batavia dan Surabaya)seperti Kampung Bali, Kampung
Ambon, dan Kampung Bugisdisebabkan oleh pendatangan dan pengiriman budak-budak
dari daerah itu ke Jawa. Paling tidak ada tiga tipe budak dari wilayah itu:
1) yang diperdagangkan;
2) yang dibawa paksa oleh Belanda ke Batavia sebagai
tenaga kerja;
3) yang dihadiahkan sebagai ‘kado’ oleh raja-raja
lokal setempat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Masyarakat etnis yang hidup di Indonesia
Timur umumnya mengenal kasta sosial paling rendah, yaitu budak. Mereka boleh
diperdagangkan dan dihadiahkan. Bila raja-raja mereka mengirim surat kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda dan Raad van India-nya di Batavia, maka setiap surat
yang dikirim diiringi dengan ‘buah tangan’ berupa ternak, hasil bumi setempat,
dan budak (biasanya disebut abdi, lasykar, bingkisan, dan kiriman).
Simak kutipan kalimat penutup Surat Sultan
Bima ke-9, Abdul Hamid Muhamad Syah (1773-1817), kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda berikut ini (garis bawah oleh Suryadi): “Satupun tiada alamat al-hayat hanyalah
pada siang dan malam serta keadaanenam orang abdi laki2 yang
tiada sepertinya. Maka yang seperti kuda itu telah sediakan
oleh Paduka Raja Bima, mau dikirimkan kepada Tuan Gurnadur Jenderal dengan
segala Rat van [I]ndia yang sebagaimana yang telah sudah dibiasakan kepada
tahun2 dahulu2.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.2).
Dan di bawah ini kutipan dari kalimat
penutup surat Raja Buton ke-26, Muhyiuddin Abdul Gafur (1791-1799): “Apalah kiranya tanda alamat al-hayat pada
akhir al-satarnya hanyadua lapan orang bingkisan kepada Kompeni dan dua orang kiriman kepada
Tuan Heer Gurnadur Jenderal, demikianlah adanya.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.44).
Banyak sekali budak ‘buah tangan’ itu yang
diterima (petinggi) Kompeni Belanda. Bayangkan saja: setiap surat dibarengi
dengan hadiah beberapa orang budak (ada yang sampai 28 orang). Sepanjang abad
ke-17, 18, dan 19 ada ribuan surat seperti itu yang dikirim oleh raja-raja
lokal di Nusantara kepada Gubernur Jenderal Hindua Belanda di Batavia.
Bayangkan jumlah budak yang menyertainya.
Minggu lalu saya membaca surat-surat Raja
Bali (Buleleng dan Karangasem) yang tersimpan di Universiteitsbibliotheek
Leiden. Rupanya raja-raja Bali juga royal mengirimkan hadiah budak kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
F. de Haan dalam buku laborious-nya, Oud Batavia (1935) mencatat bahwa beberapa nama kampung di Batavia
pada awalnya dibangun dan dihuni oleh budak-budak yang dimerdekakan. Misalnya,
kawasan Maggarai di Jakarta sekarang dulunya dibangun oleh budak-budak yang
berasal dari daerah Manggarai, Flores Barat. Demikian pula halnya Kampung Bali
yang dulunya dibangun oleh budak-budak yang dibawa dari Pulau Bali.
Kasta budak tidak ada dalam struktur
sosial kelompok-kelompok etnis yang hidup di Indonesia barat. Kalaupun ada
kelas rendah, itu biasanya didasarkan atas kategori kepemilikan harta. Etnis
Minangkabau apalagi: jangankan jadi budak, diperintah saja mereka sulit.
Bukankah mereka cenderung memilih jadi pedagang K5 yang menjual beberapa pasang
kaus kaki ketimbang jadi tukang becak?
Raja-raja atau penghulu Minang dulu kalau
mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia menyertai
emas sebagai buah tangan, bukan budak. Simak kutipan kalimat penutup surat
Panglima Raja di Hilir, Penghulu Kepala kota Padang di bawah ini (garis bawah
oleh Suryadi): “Syahdan
maka adalah dipesertakan dengan burhan al-wujud sezarah ini tuhfah
haluan daripada yang diperhamba Panglima serta penghulu2 yang dua belas serta
istiadat yang dibiasakan keadaannya lima belas tahilmas kepala,
serta kami minta selamat sekalian jenis kebajikan dan kesentosaan
Tuan Gurnadur Jenderal dan sekalian Tuan Raden van India” (Naskah Leiden Or.2241-IIb 1; 13 Maret 1792).
Danhe he, tanda si Padang pelit (cimpilik kariang?)Panglima
Raja di Hilir seringkali hanya bilang “dengan hati putih” saja, tanpa dibarengi
‘kado’ lagi, seperti dapat dikesan dalam kutipan suratnya di bawah ini (garis
bawah oleh Suryadi): “Sekarang suatupun belumapa2 persembahan daripada kami melainkan hanya hati
putih selamat dengan segala jenis kebajikan Tuan Gurnadur Jenderal dan
segala Tuan orang besar [Raad] van India serta sekalian umur
panjang jua adanya.”(Naskah Leiden Or.2241-IIb 4; 28 Maret
1794).
Umumnya penghijrahan orang Minang
dilakukan secara spontansatu ciri merantau orang Minang yang khas (Naim 1979).
Satu keuntungan lagi: orang Minang rata-rata bisa berbahasa Melayu, yang di
zaman lampau disebut sebagai “bicaro gaduang“.
Oleh sebab itu para perantau Minang tidak sulit berkomunikasi dengan
kelompok-kelompok etnis yang sudah lebih dulu bermastautin di bandar-bandar
Nusantara yang memang sudah menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam komunikasi antaraetnis. Sifat independen
nagari-nagari di Minangkabau juga ikut mempengaruhi kohesi sosial antara sesama
orang Minang di rantau.
Faktor-faktor di atassifat-sifat internal
kebudayaan Minangkabau sendiri dan juga faktor kebahasaantidak saja
mempengaruhi jenis pekerjaan yang disukai orang Minang di rantau, tetapi juga
mempengaruhi cara mereka hidup dengan sesamanya dan dengan orang-orang dari
kelompok etnis lain.
Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding
Talen en Culturen van Indonesi, Universiteit Leiden, Belanda
Dimuat di Padang Ekspres 28 Oktober 2008 (Teras Utama)